TRENDING NOW


ISLAM Nusantara Alhamdulillah, Jejakislam.net mendapat kesempatan berbincang dengan Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub, Rais Syuriah Bidang Fatwa 2010-2015  Pengurus Besar Nadhlatul ‘Ulama (PBNU) dan Imam Besar Masjid Istiqlal.
Jejak Islam hendak melihat kaitan antara Islam dan Nusantara, dan persoalan hangat lainnya, dari sudut pandang seorang ulama di Indonesia. Meski beberapa pembicaraan, sedikit keluar dari topik sejarah, namun besar manfaat yang dapat diperoleh sebagai cermin untuk menapak di masa kini. Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), Andi Ryansyah berbincang dengan Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub, Jum’at (19/6/2015) di ruang Imam Besar Masjid Istiqlal

Bagaimana pandangan Pak Kiai tentang istilah “Islam Nusantara”?

Kalau “Islam Nusantara” itu Islam di Nusantara, maka tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi. Tapi kalau budaya, kita boleh ikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya

Tadi Pak Kiai menyatakan Islam yang bercorak budaya Nusantara itu tepat, padahal Pak Kiai tadi juga menyatakan sumber agama Islam bukan dari apa yang ada di Nusantara, jadi maksudnya apa Pak Kiai?

Maksud saya, Islam yang bercorak budaya Nusantara itu boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik aqidah maupun ibadah harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat. Tapi saya katakan Islam itu bukan Arab sentris. Islam itu apa kata Al-Qur’an dan Hadits, bukan Arab sentris. Tidak semua budaya Arab harus kita ambil. Sebab ada budaya Arab yang bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya, orang- orang minum khamr di zaman Nabi dan beristri lebih dari empat. Tadi saya katakan, Nabi pakai sorban, apa kita wajib pakai sorban? Tidak ada hadits yang menunjukkan keutamaan memakai sorban. Tidak ada hadits yang mengatakan memakai sorban itu mendapat pahala. Para ulama mengatakan sorban itu budaya Nabi, budaya kaum Nabi pada zamannya.

Pak Kiai bagaimana sebaiknya umat Islam memandang budaya?

Sepanjang budaya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita boleh mengambilnya. Ini masuk wilayah muamalah. Silakan ikuti budaya Arab, silakan pakai sorban. Tapi jangan mengatakan orang yang tidak pakai sorban, tidak mengikuti Nabi. Saya pukul kalau ada orang yang mengatakan seperti itu. Silakan makan roti karena mengikuti budaya Nabi. Tapi jangan mengatakan orang yang makan nasi, tidak mengikuti Nabi. Demikian juga budaya Nusantara. Sepanjang budaya Nusantara tidak bertentangan dengan Islam, silakan ambil. Islam sangat memberikan peluang bagi budaya, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, boleh kita ambil. Silakan berkreasi dan ambil budaya apapun, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam

Kemunculan “Islam Nusantara” ini membuat sebagian orang membandingkan dengan “Islam Arab”, bagaimana menurut Pak Kiai?

Saya tidak sependapat dengan bandingan-bandingan seperti itu. Islam itu Islam saja.

Jadi istilah “Islam Nusantara” itu tidak ada ya Pak Kiai?

Ya, Islam itu agama. Nusantara itu budaya. Tidak bisa disatukan antara agama dan budaya.

Selanjutnya mengenai NU dan “Wahabi”. Bagaimana pertentangan NU dan “Wahabi” antara tahun 20an sampai sekarang. Karena seperti diketahui, dulu di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) mereka bisa akur?

Saya mengatakan tidak ada pertentangan antara NU dan “Wahabi”. Yang ada adalah perbedaan antara ulama-ulama sumber rujukan NU dengan ulama-ulama sumber rujukan “Wahabi”. Perbedaan ini ada jauh sebelum  NU dan “Wahabi” lahir. Jangankan NU dan “Wahabi”, Imam Syafi’i yang hanya satu orang, bisa berbeda pendapat ketika berada di Baghdad dan Mesir. Antara ulama-ulama mazhab Syafi’i juga bisa berbeda pendapat. Tapi perbedaan itu tidak akan keluar dari dua karakter, pertama, tidak menyebabkan kekafiran dan kedua, perbedaan itu sudah ada sebelum NU dan “Wahabi” ada. Jadi tidak perlu dipermasalahkan. Kalau ada yang mengatakan “Wahabi” itu suka mengkafirkan dan membid’ahkan , maka itu fitnah. Saya belajar “Wahabi” 9 tahun. Di dalam kitab-kitab “Wahabi” tidak ada yang menyatakan selain kelompok “Wahabi” itu kafir. Itu fitnah untuk mengadu domba NU dan “Wahabi”. Dan yang memfitnah itu adalah agen zionis. Kalau ada yang mengatakan Tuhannya bukan Allah, baru itu kafir.

Bagaimana pandangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tentang “Wahabi”?

Ketika itu, istilah yang lazim bukan “Wahabi” tapi salafi atau taimi. Banyak pandangan beliau yang sama dengan “Wahabi”. Kitab-kitab beliau banyak merujuk pada kitab-kitab Imam  Ibnu Taimiyyah. Imam Ibnu Taimiyyah itu rujukannya “Wahabi”. Tapi kata beliau, “Banyak salafi-salafi yang palsu.” Palsu karena tidak mengikuti ajaran Imam Ibnu Taimiyyah. Contohnya, mereka menilai orang-orang yang bertawasul dengan nama Nabi Muhammad itu misalnya musyrik atau kafir. Padahal Imam Ibnu Taimiyyah membolehkan itu.

Tentang kitab-kitab ulama di pesantren, kitab apa saja yang dipakai? Apa ada kitab ulama lokal? Sewaktu Saya di pesantren Tebu Ireng, kitab ilmu hadits karya Kiai Mahfudz itu dipelajari. Ulama-ulama lokal seperti Kiai Mahfud Termas asal Pacitan dan Kiai Nawawi asal Banten, juga menulis kitab, tapi menulisnya di Mekkah. Bisa jadi Kiai Hasyim ‘Asyari menulis kitabnya di Mekkah karena beliau pernah tinggal di sana.

Terakhir, apa nasihat Pak Kiai untuk umat Islam di tengah polemik isu “Islam Nusantara” serta NU dan “Wahabi” ?

Pertama, kita harus membedakan antara agama dan budaya. Agama: aqidah dan syariah, kita harus mengikuti Rasulullah. Sementara, budaya itu masuk muamalah. Budaya apa pun, termasuk budaya Arab selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, silakan. Tapi hati-hati, sebab bisa saja orang pakai sorban itu dalam rangka mencari popularitas. Ketika semua orang tidak pakai sorban, tapi ada 1 orang pakai sorban, maka itu diharamkan dalam Islam karena sorban itu menjadi pakaian popularitas. Menurut seorang Ulama Arab, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, hal itu menunjukkan kesombongan. Penampilan itu menunjukkan seorang merasa lebih mirip nabi. Itu arogan dan tidak bagus.
Kedua, NU dan “Wahabi” tidak ada pertentangan, yang ada perbedaan. Persamaannya banyak dan perbedaannya sedikit. Perbedaannya itu tidak menimbulkan kekafiran dan perbedaan itu tidak terjadi setelah NU dan “Wahabi” ada. Jadi perbedaannya hanya dalam hal furu’iyyah, bukan hal yang prinsip.
Penulis : Andi Ryansah, JejakIslam.net

 Jakarta.  Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Rikwanto memberikan tanggapan terkait Kapolda Jawa Barat yang dianggap menjabat Ketua Dewan Pembina Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI).
Rikwanto membenarkan Kapolda Jabar Irjen Polisi Anton Charliyan memang memiliki jabatan di GMBI sebagai ketua dewan pembina. “Memang demikian,” kata dia di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (13/1/2017) dilansir republika.co.id
Namun, Rikwanto memandang hal itu terbilang wajar karena pejabat kepolisian sering diminta untuk itu. “Pejabat kepolisian di tempat manapun sering diminta ke perkumpulan tertentu,” ujar dia.
Kapolda Jawa Barat Irjen Anton Charliyan sendiri membenarkan bahwa ia merupakan Ketua Dewan Pembina Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI). Menurutnya, posisi itu ia jabat agar ormas tersebut beradab.
“Saya memang banyak membina. Tetapi saya membina agar mereka ini beradab. Bukan hanya satu, tapi banyak,” kata Anton menjawab pertanyaan wartawan apakah dirinya merupakan dewan pembina GMBI atau bukan, Jumat (13/1/2017), dikutip dari detikcom
Sehari sebelumnya, GMBI dan FPI melakukan aksi di depan Mapolda Jawa Barat. Dua ormas ini dalam posisi ‘berhadap-hadapan’. Aksi dilakukan terkait pemeriksaan Habib Rizieq Shihab di Mapolda dalam kasus dugaan penodaan lambang, dasar negara Pancasila dan pencemaran nama baik Sukarno.
Usai aksi, terjadi keributan antar keduanya. FPI menyebut ada lima anggotanya yang dilarikan ke rumah sakit dan harus menjalani jahitan di lukanya.

Ulama Kharismatik asal Jawa Barat KH Muhammad Husni Thamrin mengecam keras tindakan brutal dari Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang menyerang anggota Front Pembela Islam (FPI) usai mengawal agenda pemeriksaan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Kamis (12/1) kemarin.
 
"Ini sebuah kelompok binaan, mereka ingin mengadu domba antar umat Islam," ujar Kyai yang akrab disapa Abi Thamrin itu kepada Suara Islam Online, Jumat (13/1). 
 
Menurutnya gerakan tersebut sudah diperalat dan dijadikan alat untuk memecah belah, "Dan kemungkinan ini ada indikasi gerakan seperti PKI," ungkapnya.
 
"Dan yang saya dengar, kelompok itu dibina oleh Kapolda Jabar," tambahnya.
 
Oleh karena itu, pihaknya akan menuntut pertanggungjawaban Kapolda Jabar Irjen Pol Anton Charliyan atas insiden ini. "Akan kita minta supaya dicopot," tegasnya.
 
 
red: adhila